Nusantara adalah negeri artistik, tropis, dan paradoks. Keragaman suku, ras, agama, serta interaksinya yang unik dan berbeda, tentu melahirkan ide-ide dan pencapaian-pencapaian yang sama sekali berbeda dengan benua lain. Ikilmnya yang tropis dan kaya matahari menjadikan Nusantara sebagai surga warna, karakter, dan perilaku masyarakatnya. Sementara sebagai sebuah negara yang terus berkembang dari tradisional menjadi modern, situasi politik yang masih mencari bentuk, dan desakan percepatan pembangunan serta investasi asing, mendorong perilaku-perilaku paradok dan unik sebagian besar masyarakatnya.
Khusus dalam film animasi, derasnya genre hollywood dan jepang yang membombardir industrinya, menyebabkan masyarakat film animasi di Nusantara kehilangan/belum menemukan patokan-patokan dalam mengembangkan karyanya. Animasi dan karyanya selalu dipandang dalam kacamata industri dan pasarnya saja. Sedangkan ukuran-ukuran nilainya selalu dibandingkan dengan pencapaian angka/uang. Sumber daya animasinya dicetak untuk berpihak kepada pesanan-pesanan komersial saja. Sehingga, sadar atau tidak, menyebabkan kekerdilan berkarya animasi dengan kacamata ekspresi dan pencapaian artistik.
Dibelahan dunia sudah banyak muncul festival-festival animasi yang mewadahi seniman-seniman animasi seperti ini. Sebut saja Annecy, Leipzig, Cinanima, Atlanta, dll. Dalam perkembangannya hal-hal semacam ini sudah menjadi kegiatan wajib utama yang mendasari karir seniman animasi, bahkan menjadi sebuah industri tersendiri dan memiliki pasarnya.
Belum ada festival animasi di Indonesia yang murni mendasari eventnya berdasarkan hal diatas. Selalu dicampurkan dengan ‘perdagangan’ dan pameran-pameran industri. Sementara ruang-ruang animasi alternatif ini tidak pernah mendapat tempat tersendiri. Latah terjadi, banyak bermunculan studio animasi tiba-tiba memulai karya 3 dimensi, sementara dasar-dasar animasi fundamental (2D) belum dikuasai secara benar, alhasil letupan-letupan imajinasi cerita dan visualnya tidak tersampaikan dengan baik, atau minimal layak dilihat secara audio atau visual.
Yogyakarta 2016 | Hizaro