Studio Kalahan di Yogyakarta menjadi saksi bisu acara bergengsi yang diadakan oleh Animasi Club pada Minggu, 25 Agustus 2024. Acara bertajuk “Kembali ke Akar” ini sukses menghadirkan 123 penonton, atau lebih dari dua kali lipat kapasitas yang telah dipersiapkan. Penonton menikmati pemutaran enam film animasi yang mengangkat kekayaan budaya nusantara dan internasional.
Acara dibuka dengan sambutan dari Heri Dono, seniman terkemuka di Indonesia sekaligus pemilik Studio Kalahan. Kehadiran beliau menjadi kehormatan tersendiri karena ia menunda mengurus Visa keberangkatan untuk menghadiri acara seni di luar negeri demi memberikan sambutan.
Sebelum film diputar, moderator Kusmalida memanggil kreator Mas Hanief sebagai desainer dan ilustrator dari poster acara ini,untuk menceritakan konsep topeng sebagai ilustrasi. Alasannya adalah karena topeng memiliki beragam bentuk wajah dan merupakan budaya Solo dan Jawa Tengah sehingga sangat pas dengan tema Kembali ke Akar yaitu budaya.
Berbicara soal tema ‘Kembali ke Akar’, jauh sebelum acara berlangsung, dalam proses kurasinya, Kusmalida yang juga merupakan programmer pemutaran ini menulis:
Penutur terbaik cerita-cerita dengan nilai dan unsur budaya suatu daerah atau negara adalah dari kaumnya sendiri. Hal ini karena suatu budaya sudah mendarah daging pada tiap kreator yang lahir dalam budaya tersebut. Tanggal 9 Agustus lalu dirayakan sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia. Karenanya bulan ini Animasi Club ingin mengajak pelaku dan penikmat film animasi di Yogyakarta untuk berkumpul dan menonton film-film dengan muatan lokal dengan nilai-nilai yang lahir dari berbagai suku dan budaya nusantara maupun internasional. Film-film tersebut diharapkan dapat membuka forum diskusi mengenai pentingnya muatan lokal yang dekat dan kontekstual, dalam film dan animasi.
Proses kurasi inilah yang menentukan enam film animasi yang ditayangkan malam itu:
Kika Ga karya Lodimeda Kini dan Skolmus (Indonesia)
Swallowtail karya Jennifer Shi (USA)
The Dalang’s Tale karya Irwan Junaidy, Maizura Abbas, Atiqah Mohd Abu Bakar (Malaysia)
IMUGI karya George Park / Ji Hye Park (Korea Selatan)
AYA dan Batang Garing karya Zakariya Pangaribuan dan Kolektif Emehdeye (Indonesia)
Lost in Sekaten karya Hizkia Subyantoro (Indonesia)
Pada diskusi yang diadakan, Animasi Club menghadirkan kreator film animasi Lost in Sekaten.Kusmalida memulai dengan pertanyaan yang memicu perbincangan menarik. Ia bertanya kepada Hizkia, sutradara film tersebut, mengapa memilih dua karakter yang sangat kontras—Sekar, yang medok berbahasa Jawa dan Billy, yang lebih sering menggunakan bahasa Inggris. Karakter Billy gemar bermain game online, sementara Sekar lebih suka bermain di Sekaten, sebuah perayaan tradisional di Yogyakarta. Pertemuan antara dua dunia yang berbeda ini menjadi inti dari petualangan seru dalam film tersebut.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Hizkia menjelaskan bahwa inspirasinya datang dari pengalamannya bekerja di industri game online. Ia melihat fenomena anak-anak yang terlalu banyak bermain game tanpa pengawasan orang tua sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Hal ini mendorongnya untuk menggambarkan masalah tersebut dalam film Lost in Sekaten. Film ini juga terinspirasi oleh kenangan masa kecilnya, di mana ia sering mengunjungi Pasar Malam Sekaten di Alun-Alun Utara Yogyakarta, sebuah tradisi yang kini sudah tidak ada lagi. Menurut Hizkia mengangkat budaya lokal penting untuk menyampaikan pesan yang lebih dalam.
Salah satu penonton, Bayu dari Lampung, memberikan pandangannya tentang film ini. Menurutnya, Lost in Sekaten menyampaikan pesan yang sangat relevan bagi para orang tua dan generasi muda. Bayu menekankan pentingnya perhatian terhadap tumbuh kembang anak, agar mereka tidak kehilangan kendali dan mencari pelarian di tempat yang salah. Film ini, kata Bayu, mengingatkan bahwa ketika anak-anak kehilangan sentuhan dari orang tua, mereka cenderung mencari kesibukan yang bisa menjauhkan mereka dari pengawasan orang tua.
Hizkia pun merespons pendapat Bayu dengan menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud menghakimi siapa pun melalui filmnya. Sebaliknya, ia ingin menawarkan alternatif imajinatif tentang kehidupan masyarakat Yogyakarta yang penuh dengan kontradiksi dan keberagaman. Melalui karakter Billy dan Sekar, ia ingin menunjukkan bagaimana teknologi dan tradisi dapat saling berbenturan, namun tetap bisa hidup berdampingan. Film ini juga menggambarkan bagaimana kehidupan kampung-kampung di Yogyakarta masih penuh dengan dinamika sosial yang menarik.
Kusmalida kemudian menambahkan bahwa muatan lokal dalam sebuah karya tidak hanya penting, tetapi juga esensial dalam menciptakan sesuatu yang memiliki jati diri. Ia mengaitkan hal ini dengan pengalamannya dalam dunia animasi, di mana seringkali muatan lokal hanya dilihat dari aspek visual, seperti penggunaan pakaian tradisional. Padahal, menurutnya, muatan lokal seharusnya lebih dari sekadar tampilan luar, melainkan juga nilai-nilai dan budaya yang ada di sekitar kita.
Hizkia yang setuju dengan pandangan ini, menambahkan bahwa muatan lokal sebaiknya diintegrasikan dengan cara yang relevan dan bisa diterima secara global. Ia memberikan contoh bagaimana musik rap yang awalnya sangat lokal di negara asalnya, kini bisa diterima secara luas di berbagai negara dengan penyesuaian dengan budaya lokalnya masing-masing. Dalam film Lost in Sekaten, Hizkia mencoba menerapkan prinsip ini dengan memadukan unsur-unsur tradisional, seperti gamelan, dengan teknologi modern, untuk menciptakan suasana yang unik dan otentik. Diskusi ini menyoroti betapa pentingnya muatan lokal dalam karya kreatif. Baik Kusmalida maupun Hizkia sepakat bahwa karya yang benar-benar memiliki dampak adalah karya yang berakar pada budaya lokal, namun tetap relevan dengan perkembangan zaman. Lost in Sekaten menjadi contoh bagaimana budaya dan teknologi bisa saling melengkapi, juga bagaimana kisah yang sederhana bisa menyampaikan pesan yang kuat dan menyentuh hati.
Kusmalida lalu melanjutkan diskusi dengan bertanya kepada Chonie, produser Lost in Sekaten, tentang perjalanan produksi film tersebut. Ia mengungkapkan kekhawatirannya mengenai bagaimana menciptakan karya yang berbeda dari pasar umum dan tetap berhasil diterima oleh audiens. Ia berharap Chonie bisa berbagi pengalaman tentang bagaimana Lost in Sekaten akhirnya bisa diproduksi dan dinikmati oleh penonton.
“Film yang matang lahir dari riset yang mendalam; itulah yang membuat karya menjadi unik dan menemukan jalannya sendiri.” ungkap -Chonie Prysillia
Chonie menjelaskan bahwa di Hizart Studio, mereka memiliki prinsip bahwa setiap film akan menemukan jalannya sendiri. Ia membuktikan hal ini melalui berbagai proyek, termasuk Lost in Sekaten, yang idenya sudah ada sejak tahun 2013 tetapi baru terwujud pada tahun 2019. Menurut Chonie, untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar lokal, timnya tidak mencari inspirasi ke luar, melainkan dari dalam diri, pengalaman pribadi, dan memori yang melekat. Proses film ini memakan waktu lama, tetapi hasil akhirnya, menurutnya, sepadan dengan upaya yang dilakukan.
Diskusi lalu bergulir kepada berbagai cara mencari pendanaan untuk produksi film independen. Chonie menjawab bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan urgensi proyek yang sesuai dengan sumber pendanaan yang dituju. Misalnya, urgansi film Lost in Sekaten yang sesuai dengan urgensi Dinas Kebudayaan DIY, sementara film lain mungkin sesuai dengan urgensi dari LSM, atau sumber pendanaan yang terkait dengan isu-isu tertentu. Setelah menemukan urgensi yang tepat, langkah berikutnya adalah mencari sumber pendanaan yang relevan, seperti hibah, program pemerintah, atau crowdfunding.
Hizkia menambahkan bahwa untuk membuat film, tidak selalu diperlukan dana besar. Ia mengutip sutradara James Cameron yang mengatakan bahwa film bisa dimulai dari sesuatu yang dekat dengan kita, seperti merekam kehidupan sehari-hari. Ia mengajak para calon pembuat film untuk berani keluar dari zona nyaman dan membuat film yang tidak normatif, dengan gaya yang unik dan baru. Ia juga menekankan pentingnya visual dan audio dalam sinema, serta pentingnya memiliki “director statement” yang kuat.
Sebagai penutup diskusi, Kusmalida menanyakan bagaimana cara memperluas kepekaan dalam mengangkat muatan lokal dalam karya. Chonie menekankan pentingnya riset mendalam, baik dalam cerita maupun visual. Menurutnya, semakin dalam riset yang dilakukan, semakin matang hasil karya yang dihasilkan. Hizkia menambahkan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah mengolah informasi yang sangat banyak dan memanfaatkan literasi secara maksimal, untuk menciptakan karya yang bermakna. Diskusi ini lalu ditutup dengan foto bersama penonton, penyelenggara, dan para narasumber.
Keberhasilan dan kesuksesan acara Animasi Club edisi 36 ini mendapat dukungan penuh berbagai pihak yang bekerja sama dengan tim Animasi Club. Mereka adalah Studio Kalahan, Mobil Film Dinas Kebudayaan DIY dan Paguyuban Filmmaker Jogja. Sampai jumpa di acara screening berikutnya ya! (NDL)
Pengkaji Animasi, Creative Director, Journalist, Freelance Graphic Designer. Magister Student of Videography at ISI Yogyakarta. Aktif berkomunitas di Animasi Club.