Pada Minggu malam yang cerah, 29 September 2024, Animasi Club ke-37 menghadirkan “O!PLA Focus on Poland,” sebuah program tahunan yang menampilkan pemenang dan film-film terbaik dari Festival Animasi Polandia (O!PLA) edisi12 tahun 2024. Program ini dipandu oleh Kusmalida, dan menghadirkan 12 karya animasi luar biasa dari para kreator Polandia. Piotr Kardas, sang Festival Director menulis catatan program sebagai berikut:
“O!PLA FOCUS ON POLAND vol. 12 is a special program presenting the winners and selected movies of the 12th O!PLA Animation Festival (2024) – the biggest festival in Poland focused on the Polish animation. As always the only Jury at O!PLA was the audience. In 2024 from 93 cities in Poland (O!PLA means „Oh! Polish Animation”, but also: “Oh! People Love Animation”). O!PLA FOCUS ON POLAND is an annual prestigious selection; an amazing mix of techniques, styles, and emotions showing what happens in modern Polish animation, but from a completely different, surprising angle.
Starting off 2013, the unique animation festival O!PLA consequently grows in strength, but one thing remains the same independence and passion, which stand behind the O!PLA”
Suasana Bolo Space malam itu diramaikan para penggemar animasi yang telah memadati tempat duduk taman belakang kafe tersebut. Penonton tampak antusias,, beberapa menikmati camilan dan minuman yang disediakan sebelum pemutaran dimulai.
Daftar 12 film animasi yang diputar malam itu, adalah:
- LACK oleh Pawel Prewencki
- COHESION oleh Sara Sawicka
- HALF EMPTY oleh Kataryna Orlowska
- PERFECT ME oleh Sania Mossoczy
- THEY CALLED ME A GOOD GIRL oleh Agata
- SAFARI CLUB oleh Zuzanna
- RICE & CHICKEN oleh Kamil & Kaczmarek
- DAYFALL oleh Julia Szkup
- NO WAY FORWARD NO WAY BACK oleh Maciek Stepniewski
- UNDER THE WATER oleh Julia Orlik-Buratynska
- WAIT FOR ME oleh Natalia
- THE GRAND MOTHER oleh Julia Hazuka
Dua belas film tersebut memperlihatkan ragam teknik, gaya visual, dan cara bercerita yang menggambarkan kemajuan animasi modern Polandia. Setiap film memiliki pesan tersirat yang kuat, dan seringkali menggunakan simbolisme sebagai bentuk metafora dalam penceritaannya. Beberapa film tampak memukau dengan gerakan visual yang halus namun kaya akan makna, membawa penonton ke dalam dunia cerita yang berbeda, antara satu film dengan yang lain.
Sesi Diskusi: Di Balik Karya ‘The Grand Mother’
Setelah film terakhir diputar, sesi diskusi pun dimulai dengan Kusmalida berperan sebagai moderator sekaligus penerjemah. Malam itu, Julia Hazuka, kreator dari film “The Grand Mother,” hadir secara virtual untuk berbincang langsung dengan para penonton. Pada awal diskusi ia bercerita bahwa, film ini merupakan proyek tugas akhir program magisternya, yang terinspirasi dari phobia pribadinya terhadap serangga laba-laba.
Julia kemudian mengungkapkan bahwa dia ingin membuat sebuah film yang membantunya menghadapi rasa takut terhadap laba-laba. Cerita “The Grand Mother” terinspirasi dari mitologi penduduk asli Amerika tentang nenek laba-laba yang mengumpulkan energi dari matahari. Tema yang diangkat berfokus pada hubungan antara orang tua dan anak, serta kemanusiaan secara keseluruhan. Julia pun melakukan hampir seluruh proses pembuatan film ini sendiri, baik itu pembuatan storyboard, desain karakter, hingga animasi.
Kusmalida lalu membuka sesi tanya jawab, dan salah satu penonton bernama Winni segera bertanya mengenai bagian mana yang paling memakan waktu dalam produksi film ini. Julia menjawab bahwa animasi adalah proses yang terpanjang, dengan waktu pengerjaan sekitar lima bulan dari total delapan bulan produksi. Ia harus menggambar secara manual setiap frame-nya dari awal hingga selesai, dimulai dari sketch, line-art, hingga coloring.
Farhan, penonton lainnya, lalu bertanya apakah cerita tentang laba-laba dalam film ini juga terkait dengan mitos Adam dan Hawa atau peradaban manusia. Julia membenarkan bahwa unsur cerita tentang asal-usul peradaban manusia memang menjadi bagian dari narasi yang ingin disampaikan, melalui karakter laba-laba.
Penanya berikutnya bernama Gerry, yang penasaran dengan pengisi suara dalam karya tersebut. Julia pun mengakui dirinya sebagai pengisi suara lebah, sedangkan pengisi suara bayi adalah anak dari profesornya.
Dari Phobia Menjadi Karya Animasi
Salah satu pertanyaan menarik lalu datang dari Refanza yang menanyakan mengapa Julia memilih karakter laba-laba, padahal itu adalah phobianya. Julia dengan jujur menjawab bahwa ia memang memilih karakter laba-laba sebagai cara untuk menghadapi ketakutannya sendiri. Selama proses produksi, ia melakukan banyak riset tentang laba-laba dan memilih desain yang terlihat imut dan keibuan, sebagai usaha untuk mengatasi rasa takutnya.
Winni kemudian kembali bertanya apakah setelah membuat film ini, phobianya terhadap laba-laba teratasi. Julia tersenyum dan mengatakan bahwa meskipun rasa takutnya sedikit berkurang, ia masih merasa takut pada laba-laba.
Perjalanan Film dari Karya Mahasiswa ke Festival Animasi
Hizkia, salah satu kru Animasi Club , juga ikut bertanya tentang bagaimana proses Julia sebagai mahasiswa film atau animasi ini dari mencipta karya tugas hingga berhasil masuk ke berbagai festival animasi. Julia menjelaskan bahwa sebagai mahasiswa, ia harus disiplin dan mandiri dalam menyelesaikan proyeknya, meskipun tetap mendapatkan bimbingan dari supervisor dan diawasi secara ketat. Ia juga memanfaatkan fasilitas universitas, namun sebagian besar proses pengerjaan dilakukan di rumah. Musik untuk filmnya dibantu oleh mahasiswa jurusan musik, yang studio atau musisinya adalah kolaborator film ini. Ia juga menceritakan bahwa beberapa universitas disana sudah memiliki produser film, yang juga bertugas memilih dan mengirim film mahasiswanya, namun Julia memilih untuk mendistribusikan serta membiayai keikutsertaan filmnya ke berbagai festival yang sudah diincar, sesuai dengan jadwalnya. Intinya jawabannya adalah totalitas dalam berkarya.
Sesi diskusi ditutup dengan pertanyaan penutup dari Kusmalida tentang adegan yang paling berkesan bagi Julia. Pertanyaan ini dijawab penuh emosional bahwa adegan terakhir, di mana anak harus berpisah dengan ibu laba-laba, selalu mampu membuat Julia menitikkan air mata. Baginya, adegan tersebut menggambarkan perasaan kehilangan yang mendalam, dan sehingga selalu berhasil menyentuh hatinya setiap kali menonton.
Acara malam itu ditutup dengan sesi foto bersama, diiringi dengan ucapan terima kasih kepada narasumber diskusi, Festival O!PLA, Bolo Space, Jumbuh, media partner Tabon, serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam kesuksesan acara ini. Sampai jumpa di Animasi Club berikutnya! (NDL)