Setelah dua puluh enam episode, Animasi Club akhirnya berinisiatif mengadakan pemutaran spesial animasi Perancis. Entah apa yang membuat Animasi Club menunggu hingga edisi ke-27 untuk menyorot negara dengan festival animasi tertua dan terbesar di dunia ini. Oleh sebab itu, saya dan sejumlah penonton setia Animasi Club, menyambut gembira kabar edisi yang yang bertajuk ‘Animation du Francais’ ini.
Sejak poster edisi ini dirilis, dengan ilustrasi karya Balqis Intan didalamnya, tak dapat disangkal, cita rasa Perancis mulai terasa. Seperti kebanyakan edisi sebelumnya, Yogyatourium masih menjadi tuan rumah yang menyediakan pendoponya, untuk Animasi Club pada Sabtu, 29 Juni 2019 yang lalu. Penanggungjawab Program Animasi Club 27, Ismail Haryo, menyusun tujuh film animasi pendek Perancis sebagai suguhan utama pemutaran malam itu.
Fantasmagorie (1908)
Film pertama yang tayang adalah Fantasmagorie, karya Emile Cohl, diproduksi tahun 1908, yang kemudian diklaim sebagai film animasi utuh pertama di dunia. Untuk sebuah film animasi utuh pertama, Fantasmagorie hadir bukan tanpa narasi. Dalam durasi yang tak sampai dua menit, penonton menikmati sebuah komedi satir tentang eksperimen-eksperimen seorang badut dan rangkaian kesialan yang ia dapatkan. Interpretasi akan kisah ini bisa jadi berbeda antar penonton.
karena pengaturan tempo cerita, dengan kecepatannya mengikuti musik, latar dari awal sampai akhir, juga karena ketiadaan dialog. Kisah yang diusung Fantasmagorie sudah pasti bukan yang terbaik malam itu. Namun, seperti yang disampaikan oleh Ismail dalam sesi tanya jawab, penting untuk melihat garis awal animasi Perancis, sebagai pembanding dengan film-film selanjutnya; sejauh mana ia berevolusi, atau bahkan apa yang dipertahankan?
Flesh and Bones (2012)
Sutradara Manon Brûlé kemudian muncul dilayar. Dalam sebuah video, dari kota Brussel, ia menyapa penonton Animasi Club dan mengantarkan kami pada film kedua, karyanya; Flesh and Bones (2012). Melompat jauh dari tahun 1908, Flesh and Bones adalah contoh animasi Perancis yang kita kenal saat ini; animasi 2 dimensi dengan warna-warna pastel pada seluruh objek dan properti, lalu set-set minim cahaya matahari dengan dominasi nuansa coklat, tosca dan magenta. Gambar-gambar pada film ini minim tekstur, namun garis-garisnya yang cermat menerangkan sifat obyek, membuat kita menghayati kisah didalamnya. Kisah tentang sebuah peristiwa traumatis yang dialami seorang pria, diikuti oleh sebuah kesempatan ajaib, untuk menghayati eksistensi tubuhnya, yang tercipta melalui kolaborasi dua karakter yang berlawanan sifat dan bentuknya.
D’une Rare Crudité (2010)
Menyaksikan film ketiga; D’une Rare Crudité (2010) karya Emilien Davaud, sejenak saya lupa, bahwa sedang menonton koleksi film animasi Perancis. Pasalnya film ini sangat bertolak belakang dengan gaya dan karakter animasi Perancis pada umumnya. Tak hanya itu, perspektifnya pun berbeda dengan film pada umumnya. Jika fabel mengusung kisah-kisah hewan yang berperilaku seperti manusia, D’une Rare Crudité adalah kisah keseharian tumbuh-tumbuhan dalam sebuah ladang, dengan perilaku yang mirip manusia.
Film ini menjadikan manusia dan hewan sebagai figuran. Istimewanya, Davaud menghantarkan itu tanpa bantuan dialog dan tanpa harus berlebihan seperti fabel, dalam memasukkan perilaku manusia pada tumbuhan. Meski menjadi para pemeran utama, tumbuhan tetap pada sifat-sifatnya yang damai dan tetap menjadi korban yang hanya merespon tingkah laku manusia, hewan dan alam. Pembuat film menyesuaikan gaya visual nya dengan kebutuhan bercerita yang kaya cahaya (matahari), warna dan tekstur-tekstur alam. Hasilnya adalah sebuah film dengan pesan-pesan lingkungan hidup yang tajam simbol dan reflektif, tanpa kesan menggurui.
Le sommet bleu (2016)
Penonton Animasi Club kemudian disuguhkan ‘Le sommet bleu’ karya Julien Piau. Jika sekilas melihat visualnya; beruang kecil, langit biru, gunung tertutup salju, banyak yang akan menyangka ini adalah film anak. Nyatanya, ‘Le sommet bleu’ adalah kisah thriller pendek tanpa setting gelap, jeritan ketakutan dan karakter misterius. Meski demikian, suasana misterius berhasil diciptakan selama film berlangsung, melalui desain suara yang minimalis dan pemilihan warna yang sama sekali dingin, layaknya es yang menutupi puncak gunung didalam film.
Une tête disparaît (2016)
Memasuki film kelima, adalah ‘Une tête disparaît’ (The Head Vanishes) yang sukses menceritakan hubungan Ibu dan anak, yang terganggu oleh penyakit demensia sang ibu. Penonton Animasi Club akhirnya menyaksikan film 3D, ala Perancis. Disebut demikian, karena seperti pada film dan karya seni lainnya, film-film Perancis tidak pernah lalai memberikan sentuhan berbeda. Saya terkesan dengan penempatan analogi yang imajinatif pada desain karakter utama yang menyandingkan disabilitas dengan kemandirian. Juga pada kemampuan membawakan tema hubungan orang tua dan anak yang egaliter, khas Perancis. Nilai-nilai keluarga yang terkandung, jauh dari klise dan dibawakan dengan cara yang tidak mainstream. Secara visual, nilai-nilai hubungan yang diusung tadi, kembali menjadi alasan kuat untuk menghadirkan visual, warna dan hangatnya latar Perancis selatan.
Beach Flag (2014)
Berikutnya adalah ‘Beach Flag’ (2014) yang diproduksi oleh sebuah rumah produksi Perancis dan disutradarai oleh Sarah Saidan, filmmaker asal Iran. ‘Beach Flag’ merepresentasikan satu dari banyak upaya rumah-rumah produksi Perancis, untuk mem-filmkan kisah-kisah dari belahan dunia lain. Upaya-upaya yang pada kenyataannya bukan tanpa pengaruh. Dengan palet warna coklat dan warna-warna pastel, minimnya permainan cahaya meski berlatar timur tengah, serta pemilihan nuansa warna putih untuk kulit manusia, karakter visual ‘Beach Flag’ sangat lekat dengan animasi Perancis dan sebagian besar Eropa. Namun tentu saja, rumah produksi Perancis selalu memilih narasi berbobot, untuk mereka produksi. Kali ini, narasi feminisme yang diusung. ‘Beach Flag’ mengangkat kompetisi sekelompok gadis muda penjaga pantai untuk menjadi atlit yang mewakili negaranya. Meski bukan film dokumenter, film ini mendokumentasikan detail keterbatasan dalam menjadi seorang perempuan muda di Iran dan resiko-resiko yang harus mereka hadapi. Sarah Saidan membawakan pesan penting untuk mendukung perempuan mengejar impiannya, dimulai dari perempuan disekitarnya.
Insolation (2015)
‘Insolation’ karya Lea Fabrequette, sebuah film animasi pendek yang sangat artistik, mengakhiri pemutaran Animasi Club malam itu. Selama enam menit, kita diajak menikmati serangkaian gambar manual bergerak dalam medium pastel (jika bukan krayon) dan spidol warna, bercerita tentang suatu masa dimana cahaya matahari telah menjadi langka. dan momentum yang diciptakan manusia pada kemunculannya singkatnya. Melalui nuansa warna biru tua dan hitam, nyaris monochrome, untuk masa tanpa matahari, lalu kemunculan warna-warna hangat pada masa kemunculan matahari, ‘Insolation’ berhasil menghantui penontonnya dengan sebuah kemungkinan untuk mengalami masa dan momentum seperti itu, dimasa depan.
***
Selama kurang lebih satu jam pemutaran, dari animasi tiga dimensi ke animasi gambar tangan, dari keceriaan komedi satir, hingga muramnya peradaban tanpa matahari, dari isu lingkungan ke isu feminis, Animasi Club berhasil membawa penontonnya berpetualang memasuki ruang-ruang pikir dan ruang-ruang artistik para pembuat film animasi Perancis.
Apakah ruang-ruang tersebut familiar dan dapat dipahami oleh penonton? Sesi diskusi setelah pemutaran mengungkap jawabannya. Dari dua puluh satu penonton yang hadir malam itu, tidak semua mampu memahami gaya bercerita dan wacana yang dibawakan film-film Perancis ini. Mereka yang biasa menggunakan bahasa seni rupa mengaku menikmati tantangan memecahkan simbol-simbol yang dihadirkan. Sedangkan mereka yang terbiasa mengkonsumsi animasi buatan industri dengan gaya bercerita populer kesulitan untuk menikmati. Musik dan suara latar yang minimalis, terasa ‘terlalu sepi’ bagi penonton Indonesia. Palet warna yang sama sekali tidak mentah, memanjakan mata kita yang terbiasa dengan paparan sinar matahari. Gaya bercerita dalam film seringkali dihubungkan dengan mencapaian intelektualitas, namun penting juga diselidiki budaya bertutur yang berbeda antara bangsa-bangsa. Gaya visual pun sering dihubungkan dengan pencapaian artistik, namun penting juga dipertimbangkan perbedaan sensitifitas mata dalam menangkap cahaya, yang berbeda antar iklim.