Categories Artikel Review

Roda Pantura yang Terus Berputar

Roda Pantura bertutur dalam siklus. Bahwasanya, seperti roda, nasib menusia terus berputar untuk kembali pada satu titik yang sama. Hanya beberapa orang terpilih yang benar-benar bisa bergerak. Kebanyakan dari kita hanya bisa pasrah mengikuti arus pusaran samsara, dalam permainan nasib yang tak jelas mana ujung pangkalnya.Dalam Roda Pantura samsara itu menjerat protagonis kita. Ia adalah satu dari sekian banyak warga yang menjadi korban krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998. Sampai akhir film kita tidak pernah tahu siapa namanya. Satu-satunya identitas dirinya yang kita ketahui adalah pekerjaannya, yakni sebagai supir truk. Adegan-adegan kerutinannya membentuk narasi utama film ini. Ambil pesanan, macet-macetan di jalan, terima uang, tidur sebentar, bangun lagi, kerja lagi. Begitu terus sampai suntuk. Dan kalau sudah suntuk, protagonis kita mencari penghiburan di kedai-kedai gurem, di antara jejeran botol alkohol dan pelukan perempuan malam.

Sebagai seorang pekerja informal, protagonis kita tak punya banyak pilihan. Dan, lebih pentingnya lagi, ia tak punya banyak pegangan. Hidupnya bergantung dari pasar kerja yang melilit akibat krisis ekonomi. Solusinya bagi tanggungan hidupnya cuma satu: kerja lebih keras lagi. Sepanjang kisah ia ditampilkan tak punya waktu sedetikpun untuk sekadar singgah di rumah dan menengok istrinya. Hidupnya habis di jalan. Sang istri cuma bisa pasrah menanti kepulangannya, dengan ditemani sofa kosong dan siaran berita televisi.

Sebagai cerita, Roda Pantura sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan film-film Indonesia dekade 70an dan 80an. Kemiskinan dituturkan melalui rangkaian peristiwa yang melodramatis. Protagonis cerita sedari awal kisah sudah ditampilkan punya kesulitan ekonomi, dan seiring berjalannya film, akibat suatu bencana atau rangkaian kesialan, status penderitaannya merosot dari kemiskinan ke kesengsaraan. Roda Pantura kurang lebih menempuh jalan yang sama.

Untungnya, Roda Pantura tidak terjebak pada solusi-solusi klise khas film Indonesia tentang kemiskinan. Pembuat film tidak menyederhanakan masalah ekonomi protagonisnya sebagai perkara moral semata. Tidak ada penghakiman bagi protagonisnya. Tidak ada juga peristiwa pewahyuan yang menyebabkan protagonis kita tobat, untuk melayani tuan dan Tuhan dengan lebih tekun lagi, supaya nantinya diganjar dengan hidup layak dan harta berlimpah. Dalam Roda Pantura kehidupan manusia berjalan memutar, dari satu titik derita ke titik derita yang sama. Tidak ada jalan keluar.

Roda Pantura memang tidak menawarkan cerita yang luar biasa. Cerita serupa bisa kita temukan dalam ribuan film lainnya. Yang langka adalah kemampuannya menghadirkan pengalaman pandang-dengar yang selaras dengan keseharian kita. Kekuatan utama Roda Pantura adalah keintiman terhadap ruang yang menjadi latar ceritanya, terhadap lengkung jalan raya, terhadap pantat truk yang berhiaskan canda kata, terhadap sinar matahari yang terbias debu, terhadap bising mesin dan bunyi knalpot yang tak henti. Layaknya situasi hidup di jalan panjang yang membentang di bagian utara Pulau Jawa, tak pernah ada momen sepi dalam Roda Pantura.

Dari sini kita mendapati suatu hal yang langka dalam film Indonesia: kepekaan ruang. Sineas kita entah kenapa cenderung enggan untuk mengolah kekhasan ruang hidup di Indonesia. Di negeri kita ini jarak antarmanusia begitu rapat. Bahkan ketika kita sedang berada dalam rumah, suara luar tetap bisa masuk ke ruang pribadi kita, entah itu bisikan tetangga atau lantunan adzan masjid seberang sana. Kita tidak pernah benar-benar bisa bercakap dalam sunyi. Selalu ada bunyi yang menemani. Keriuhan macam ini umumnya disterilkan dalam film-film Indonesia, tapi tidak halnya dalam Roda Pantura.

Di negeri kita ini juga ruang hidup berkembang secara sporadis. Tak ada yang namanya desain terencana. Dinamika warga menjadi faktor utama yang membentuk bidang-bidang di sekitar kita. Ada ruang terbuka di suatu tempat, ada bangunan berdempet-dempetan di sebelahnya, di antaranya ada jalan tikus, dan sebagainya. Dalam Roda Pantura hal ini terwujud melalui guratan gambar yang nihil garis lurus. Pembuat film bisa dengan santai menumpuk berbagai unsur visual dalam satu adegan, lalu menghadirkan kekacauan bentuk serupa pada adegan berikutnya.

Keriuhan estetika Roda Pantura ini berjalan mesra dengan cerita yang dituturkannya. Permainan bentuk yang serba bising dan serba acak-acakan ini secara apik mengikat pergumulan batin protagonis dari awal sampai akhir cerita. Dan, dalam beberapa momen, menghadirkan paradoks tentang kondisi hidup protagonis kita. Hidupnya sepi tapi selalu ramai.

Melalui keriuhan estetikanya, Roda Pantura bisa menjadi bahan diskusi tentang estetika film Indonesia ke depannya. Selama ini kita selalu bertanya apa sesungguhnya identitas estetis film Indonesia, dan tak jarang pencarian kita hanya berujung pada daur ulang pakem-pakem estetis dari kehidupan yang asing dari kita. Animasi, dengan proses produksinya yang khas, bisa menawarkan banyak gagasan menarik untuk diskusi panjang itu.


Penulis |Adrian Jonathan Pasaribu | www.cinemapoetica.com

adalah salah satu pendiri Cinema Poetica, yaitu sebuah situs yang mengkaji film Indonesia, jurnalis, peneliti, dan pegiat film yang dirintis pada 14 Oktober 2010. Cinema Poetica berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan sinema bagi publik, sebagai tanggapan terhadap minimnya literatur tentang film di Indonesia, serta minimnya kajian tentang sinema Indonesia pada umumnya.

Sejak tahun 2007 hingga 2010, ia menjadi pengurus program di Kinoki, bioskop alternatif di Yogyakarta. Ia sempat terlibat di filmindonesia.or.id sebagai anggota redaksi, Festival Film Solo sebagai kurator, dan Berlinale Talent Campus 2013 sebagai kritikus film.

Alumni Fisipol jurusan Ilmu Komunikasi ini sudah memiliki banyak sekali prestasi baik ditingkat nasional maupun internasional khususnya dalam industri perfilman.

More From Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like