Dua belas November yang belum lama berlalu, ditetapkan sebagai Hari Ayah sejak tahun 2006, oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Momentum ini kini banyak digunakan untuk merenungkan dan mengapresiasi mereka dengan figur maupun peran ayah dalam kehidupan kita masing-masing. Film adalah salah satu media yang sering mengusung berbagai kisah inspiratif tentang hubungan-hubungan, termasuk hubungan ayah dan anak. Masing-masing kita punya setidaknya satu film yang serta merta muncul di benak saat berbicara tentang hubungan spesifik ini.
Saat berbicara tentang film tentang hubungan ayah dan anak, di benak saya serta merta muncul sebuah film yang pertama kali saya tonton pada edisi pertama CRAFT International Animation Festival, di tahun 2017. Negative Space adalah film animasi pendek karya pasangan sutradara Ru Kuwahata dan Max Porter. Dirilis pada tahun 2017, Negative Space telah mendapatkan banyak pengakuan internasional. Film ini menjadi official selection di berbagai festival bergengsi, termasuk Annecy International Animation Film Festival, bahkan mendapatkan nominasi Oscar untuk kategori Film Pendek Animasi Terbaik pada 2018. Prestasi ini menunjukkan bahwa selain kualitas seni, film ini juga menawarkan kekuatan pesan dalam durasi hanya lima menit.
Negative Space adalah kisah tentang seorang anak laki-laki bernama Sam yang sering berpisah dengan ayahnya akibat padatnya jadwal perjalanan bisnis sang ayah. Mengadaptasi puisi karya Ron Koertge, hubungan emosional anak dan ayah ini lalu digambarkan melalui seni dan filosofi cara mengepak koper. Penonton menyaksikan komunikasi dan kenangan antara keduanya yang tersirat dan terbangun dari rutinitas sederhana.
Negative Space menghadirkan perspektif yang unik tentang makna hubungan keluarga. Film ini mengingatkan kita bahwa hubungan dengan orang tua tidak selalu ditentukan oleh momen besar, melainkan oleh rutinitas kecil yang membentuk kenangan. Alih-alih menyajikan narasi kompleks, film ini memilih cara bercerita yang sederhana tetapi penuh simbolisme, menunjukkan bahwa cinta dan perhatian tidak selalu diekspresikan melalui kata-kata, melainkan bisa muncul dari tindakan kecil yang terlihat biasa saja.
Filosofi “negative space” atau “ruang kosong” yang menjadi judul film ini memiliki peran besar dalam menggambarkan hubungan emosional. Istilah ini diambil dari seni rupa, di mana ruang kosong sering kali menjadi elemen penting dalam menciptakan keseimbangan dan keindahan. Dalam film ini, ruang kosong juga menjadi metafora tentang hubungan yang sering kali tidak diucapkan, tetapi tetap terasa kehadirannya.
Bukan hanya cerita yang membuat Negative Space layak ditonton, tetapi juga visualnya yang luar biasa. Film ini menggunakan teknik animasi stop-motion, sebuah metode yang membutuhkan ketelitian tinggi. Setiap detail dalam film ini terasa hidup—mulai dari tekstur pakaian, lipatan kain, hingga desain koper. Kedua sutradara mengungkap bahwa mereka membuat 19 buah boneka stop-motion, juga memperkirakan antara 500 hingga 1000 buah props dibuat untuk seluruh set film.
Animasi stop-motion memberikan kesan nyata yang tidak bisa ditiru oleh teknik digital. Ini menciptakan suasana intim, seolah-olah penonton bisa merasakan sentuhan fisik dari setiap objek yang ada di layar. Proses pengerjaan yang rumit ini menambahkan dimensi emosional pada film, mencerminkan perhatian terhadap detail yang sama seperti hubungan ayah dan anak dalam cerita.
Yang membuat Negative Space begitu kuat adalah cara film ini menyampaikan pesan tanpa terlalu eksplisit. Penonton dibiarkan merenungkan sendiri apa yang ingin disampaikan oleh cerita, menjadikan pengalaman menonton menjadi sangat personal. Hal ini termasuk karena di antara sejumlah besar film mengangkat hubungan ayah dan anak yang masih berlangsung; film ini juga merangkul kisah-kisah yang tinggal kenangan. Sebuah realitas yang saya dan sebagian dari Anda hadapi.
Selamat menonton!
***CPS***