Menurut PBB, kebebasan beragama, kebebasan berbicara, serta hak untuk berkumpul dan berserikat, semuanya saling terkait dan saling mendukung. Sayangnya hingga saat ini masih banyak praktik intoleran dan kekerasan berbasis agama atau kepercayaan, termasuk kepada individu yang merupakan bagian dari agama minoritas di berbagai belahan dunia. Intensitas insiden yang sering kali bersifat kriminal pun meningkat.
Salah satu studi kasus persekusi berbasis agama adalah kasus Falun Gong di RRT. Falun Gong atau Falun Dafa adalah praktik meditasi Tiongkok yang berakar pada tradisi Budha yang telah berumur ribuan tahun. Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengungkap bahwa, sejak tahun 1999 pemerintah RRT telah terlibat dalam persekusi sistematis untuk membasmi praktik spiritual Falun Gong. Kampanye nasional ini termasuk dengan cara pelecehan dan penahanan para pengikut Falun Gong, yang kemudian dipaksa beralih kepercayaan dengan cara disiksa, dan sering kali berujung kematian. Sebagai akibatnya, jumlah korban meninggal pengikut Falun Gong pada tahun 2023 telah lebih dari 5000 orang. PBB meyakini jumlah ini hanyalah puncak gunung es-nya.
Angka kematian sebanyak itu berarti ribuan anak kehilangan orang tuanya. Baik yang ditinggal meninggal, maupun yang ditinggal karena orang tuanya di jebloskan ke penjara. Anak-anak Falun Gong juga merupakan korban diskriminasi dalam kebijakan persekusi ini. Luna Huang adalah salah satunya. Ibunya ditahan dalam sebuah aksi damai, lalu disiksa. Luna belum genap berusia dua tahun saat Ibunya meninggal di dalam tahanan.
Kisah Luna Huang dan anak-anak Falun Gong lainnya menginspirasi dan menggerakkan seorang filmmaker bernama Leon Lee untuk membuat sebuah film pendek animasi berjudul ‘Rag Doll’. Film ini bercerita tentang seorang anak perempuan yatim piatu yang, ditengah aniaya mematikan, bertekad untuk menghidupkan ibunya kembali melalui kekuatan seni. Film ini rilis di tahun 2020 dan merupakan Official Selection di berbagai festival film, termasuk LA Shorts International Film Festival tahun 2020.
Dari 18 menit durasi film ‘Rag Doll’ sebagian besar dibuat dengan teknik animasi stop-motion, sedangkan 4 menit terakhirnya adalah live action. Pertanyaan ‘mengapa animasi’ dalam film ini terjawab dengan usahanya menghadirkan pengalaman traumatis seorang anak yang orang tuanya dipersekusi. Suasana kelam dan sedih di sepanjang film tercapai melalui elemen-elemen artistik nan berkualitas animasi stop-motionnya. Pemilihan porsi live action pada ujung cerita juga bukan tanpa alasan kuat, yakni sebuah realitas yang hingga kini masih mengancam para pengikut Falun Gong di RRT.
Diskusi yang terbuka, konstruktif, dan didasari rasa hormat, serta dialog antar agama, kepercayaan, dan budaya di berbagai tingkatan—lokal, nasional, maupun internasional—dapat membantu mengurangi kebencian, hasutan, dan kekerasan yang berbasis agama. Film adalah salah satu kendaraan guna membuka diskusi-diskusi terbuka tersebut. Dalam momentum 22 Agustus yang secara internasional digunakan untuk Memperingati Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan ini, Animasi Club mengajakmu menonton film ‘Rag Doll’, sebagai bahan diskusi isu sosial ini bersama keluarga, kerabat, dan kolega.
Selamat menonton dan berdiskusi!