Pada tanggal 29 November 2024, di Studio Kalahan, Yogyakarta, Animasi Club berkolaborasi dengan Klub Makan Siang dan pameran seni rupa “Sowan” oleh Tabon mengadakan acara bertajuk “Rupa Animasi”. Acara ini merupakan bagian dari seri Animasi Club Episode 39, yang menghadirkan screening dan diskusi tiga film animasi seni, yaitu Bridges of Cosmologies karya Faisal Kamandobat, Belik karya Samuel Indratma, dan The Loneliness World, Happily Ever After karya Heri Dono. Ketiga film ini diproduseri oleh Samuel Indratma dan animasi digarap oleh Wahyu Nurul Iman, seorang animator yang juga berdomisili di Yogyakarta.
Diskusi yang dimoderatori oleh Hizkia Subiyantoro, seorang filmmaker dan pendiri Animasi Club, menghadirkan Samuel Indratma dan Heri Dono, dua perupa senior yang berbagi pandangan mereka tentang animasi sebagai medium seni rupa. Hizkia dengan mendalam memantik diskusi proses kreatif para pembuat film, dari kolaborasi hingga eksplorasi dalam berkarya.
Samuel Indratma: Kolaborasi Spontan dan Metode “Lostang”
Samuel Indratma berbagi cerita tentang kolaborasinya dengan animator Wahyu Nurul Iman, yang dimulai dari SMK di Majenang. Ia menjelaskan metode lostang—pendekatan spontan yang mendorong kolaborasi kreatif tanpa beban. Salah satu hasil kolaborasi mereka adalah film bertema budaya Sintren, yang dirangkai dari tradisi lokal menjadi sebuah karya animasi yang memikat.
Dalam pandangan Samuel, kolaborasi adalah sarana menemukan metode baru yang tidak hanya merangkul tradisi lokal, tetapi juga memberikan ruang bagi spontanitas dan eksplorasi. Ia menekankan bahwa kreativitas harus dijalani dengan relaksasi, tanpa kehilangan nilai spontanitas.
Heri Dono: Animasi sebagai Medium Seni dan Spiritualitas
Heri Dono, yang sudah mengeksplorasi animasi sejak tahun 1984, melihat animasi sebagai medium yang erat kaitannya dengan seni rupa dan spiritualitas. Ia terinspirasi dari konsep animisme, yang percaya bahwa setiap benda memiliki energi dan roh. Heri juga menyebut bahwa animasi pertamanya dibuat dengan metode pasir, mengacu pada teknik animasi pasir oleh Caroline Leaf.
Filmnya The Loneliness World Happily Ever After adalah parodi yang tercipta di masa pandemi COVID-19, mengangkat gagasan bahwa kedamaian sejati justru tercapai setelah manusia menjadi roh. Dalam pandangannya, seni rupa dan animasi membuka ruang eksplorasi berbagai medium, dari kayu hingga kaca, yang memungkinkan tafsir luas oleh audiens.
Wahyu Nurul Iman: Proses Kreatif dalam Kolaborasi
Wahyu Nurul Iman berbagi pengalaman berkolaborasi dengan para perupa. Ia menekankan bahwa para seniman senior lebih sering menambahkan ide baru daripada merevisi karyanya, sehingga proses kreatif menjadi lebih dinamis dan bebas. Dalam setiap proyek, ia diberikan kebebasan untuk merespons aset visual dan audio.
Wahyu mengadopsi filosofi Heri Dono bahwa “kesalahan adalah penemuan baru,” sebuah pendekatan yang mendorong kreativitas tanpa rasa takut untuk bereksperimen.
Diskusi dan Refleksi: Seni Tradisional, Teknologi, dan Tafsir Animasi
Dalam sesi tanya jawab, pertanyaan dari audiens menyentuh isu penting seperti penggabungan seni tradisional dengan teknologi modern. Heri Dono mengaitkan animasi dengan goresan prasejarah di Gua Leang-Leang di Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa narasi visual telah ada selama puluhan ribu tahun di Nusantara.
Sementara itu, Samuel Indratma membahas tantangan membawa elemen lokal ke dalam karya seni. Ia menekankan bahwa budaya lokal layak hadir dalam karya global, asalkan dijembatani dengan baik, seperti melalui penggunaan subtitle pada film Tilik yang menggunakan bahasa daerah pada keseluruhan film.
Di sisi lain, pertanyaan tentang idealisme versus pemahaman audiens juga menjadi sorotan. Heri Dono menjelaskan bahwa dalam seni rupa, ada dua jalur: fine art yang bertujuan memicu refleksi mendalam, dan applied art yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan audiens. Kedua pendekatan ini sama-sama valid dalam animasi, tergantung pada niat senimannya. Sesuatu dengan simbol yang abstrak, pun bisa menjadi menarik ketika dihadirkan dalam bentuk animasi seni rupa.
Animasi Sebagai Medium Masa Depan
Acara ini ditutup dengan pernyataan inspiratif dari moderator, yang menganalogikan karya animasi dengan sebuah masakan. Setiap film memiliki rasa yang berbeda—ada yang pedas, gurih, atau bahkan membuat penikmatnya tersedak. Namun, karya-karya ini berhasil menjadi pemicu refleksi bagi para penontonnya, membawa ide-ide baru ke rumah masing-masing dan untuk kemudian mercaiknya menjadi sebuah karya baru.
Sebagai penutup, diumumkan bahwa tahun depan, 5TH “Craft International Animation Festival” akan diselenggarakan pada 28 Oktober – 1 November 2025 di Yogyakarta, sebuah ajang untuk menampilkan animasi-animasi berbasis kerajinan tangan (handcrafted). Festival ini menjadi bukti bahwa animasi di dunia tidak hanya tentang hiburan, tetapi juga medium berekspresi dan menyampaikan issue kemanusiaan, seperti karya seni rupa yang kaya nilai estetika dan multi interpretasi. (Disunting oleh: HS)