Categories Artikel

Renungan Akhir Tahun seorang Kreator Animasi

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri sejumlah festival film, bertemu dengan para filmmaker dari berbagai latar belakang. Banyak di antara mereka telah menciptakan karya-karya dengan karakter dan signature yang kuat. Namun, menariknya, mereka tetap mengerjakan proyek yang jauh berbeda dengan ciri khas mereka untuk menopang kebutuhan hidup. 

Bagi kita, para kreator animasi, dilema serupa kerap muncul: antara fokus pada pekerjaan yang komersil atau mencoba menciptakan karya yang benar-benar mencerminkan suara dan kreativitas kita. Di Indonesia, banyak pelaku animasi yang, dengan alasan yang sangat masuk akal, lebih memilih pekerjaan yang mendukung kebutuhan sehari-hari. Kondisi ekonomi yang menantang membuat banyak mimpi besar atau ambisi untuk membuat karya sebagai bentuk ekspresi seringkali terabaikan. 

Namun, apakah ini berarti suara kreatif kita harus sepenuhnya dikorbankan? Apakah mungkin keseimbangan antara kreativitas dan keberlanjutan tercapai? 

Identitas di Tengah Arus Dominasi

Dalam industri animasi global yang didominasi oleh industri animasi Amerika dan anime Jepang, pertanyaan penting muncul: bisakah kita menciptakan identitas sendiri? Ataukah kita perlu mengikuti arus?

Menariknya, contoh nyata tentang menciptakan arus baru bisa kita lihat dari sejarah anime. Anime berasal dari Jepang pada awal abad ke-20, berkembang dari teknik animasi barat, dan mulai populer secara global sejak era 1980-an melalui karya-karya seperti Astro Boy dan Akira. Butuh waktu lebih dari 25 tahun bagi anime untuk berhasil menyaingi popularitas Disney hingga memiliki komunitas yang organik seperti sekarang. Anime berhasil menciptakan identitas yang berbeda, bukan hanya karena gaya visualnya yang khas, tetapi juga karena keberanian mereka menyampaikan cerita dengan sudut pandang yang unik, yang tidak ditemukan di animasi Amerika.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki aset budaya yang luar biasa kaya—dari cerita-cerita rakyat, elemen-elemen visual yang khas, hingga berbagai cita rasa musik tradisional. Semua ini adalah potensi besar untuk direspon menjadi  suatu karya. Namun, tantangannya adalah bagaimana cara kita menyampaikannya. Yang memahami keunikan budaya kita dan cara terbaik untuk menyampaikan cerita ini adalah kita sendiri, bukan orang lain.

Tidak semua cerita cocok disampaikan dengan formula yang digunakan oleh negara lain. Justru, di sinilah kesempatan kita untuk menciptakan pendekatan baru yang autentik dan relevan dengan identitas serta realitas kehidupan kita. 

Animasi: Di Antara Film dan Seni Rupa

Animasi adalah karya seni yang unik karena berada di persimpangan antara film dan seni rupa. Ketika membuat film live-action, proses produksi dapat dipersingkat menjadi beberapa hari atau minggu saja, tergantung skala produksi. Namun, animasi tidak demikian. Animasi membutuhkan proses yang jauh lebih panjang dan kompleks. Sumber daya yang besar, baik dalam hal waktu, tenaga, maupun biaya, sering kali menjadi tantangan utama. 

Membuat animasi juga sering kali seperti membuat karya seni rupa, karena begitu luasnya segala kemungkinan yang dapat kita hadirkan dalam bentuk audio-visual, kreativitas yang diselami hampir tidak terbatas. Semua itu membutuhkan proses dari menciptakan ide, konseptual, hingga produksi dan distribusinya. Proses yang lama dan mahal ini membuat kita, sebagai kreator animasi, sering bertanya pada diri sendiri: Apakah karya ini benar-benar sesuai dengan apa yang ingin saya sampaikan? Ataukah ini hanya karya yang sekadar menghasilkan uang tetapi tidak meninggalkan kebanggaan atau kepuasan bagi saya?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk direnungkan agar kita tidak terjebak dalam siklus menciptakan karya yang tidak memiliki arti mendalam bagi diri kita sendiri. 

Fleksibilitas dan Kehilangan Identitas

Sebagai animator, kita sering dituntut untuk fleksibel mengikuti permintaan pasar. Studio-studio biasanya memiliki gaya gambar atau karakteristik tertentu yang harus kita ikuti, seperti gaya anime Jepang atau animasi kartun Amerika. Tuntutan ini kadang mengorbankan gaya pribadi kita, hingga suatu saat kita mungkin merasa kehilangan jati diri kreatif.

Banyak dari kita mungkin pernah mengalami fase ini—beradaptasi begitu lama hingga lupa akan gaya gambar atau ciri khas yang awalnya kita miliki. Untuk menemukan kembali identitas itu, mungkin dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Hal ini menjadi pengingat penting bahwa fleksibilitas tidak boleh menghapuskan suara dan kreativitas kita sebagai kreator. 

Applied Art vs. Fine Art 

Dalam diskusi di Animasi Club 39 kemarin, seniman Heri Dono menyampaikan pembagian seni dalam dua kategori: applied art dan fine art.

  • Applied art adalah seni yang memenuhi kebutuhan audiens, sering kali berorientasi pada pasar atau klien.
  • Fine art adalah seni yang tidak berkompromi, sebuah ekspresi murni dari kreator yang menyerahkan interpretasinya kepada audiens.

Keduanya memiliki nilai masing-masing. Namun, sebagai kreator, kita harus menentukan: apakah kita ingin membuat karya yang sepenuhnya menggambarkan diri kita, ataukah kita lebih nyaman menciptakan karya untuk memenuhi kebutuhan pasar? Perlu dipahami bahwa tidak ada yang lebih unggul dari keduanya, semua kembali kepada pilihan mana yang bisa menjadikan perjalanan kekaryaan seorang kreator bisa berkelanjutan. 

Refleksi dari Festival Film

Pengalaman saya menghadiri festival seperti Festival Film Dokumenter, JAFF, Festival Sinema Prancis hingga Japanese Film Festival menunjukkan kecenderungan bahwa ada dua kutub karya dalam film: karya art house yang personal dan karya komersial yang luas diterima. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam sesi Star Nimbrung bersama teman-teman Forum Komunitas di Jogja-Netpac Asian Film Festival awal Desember lalu, Angga Sasongko, founder dan CEO Visinema Pictures, menyampaikan bahwa ia tahu pasar animasi di Indonesia saat ini belum ada, namun pasar itu bisa dibuat. Alasan Visinema berinvestasi membuat film animasi seperti Nussa dan Jumbo adalah agar penonton kenal dengan animasi Indonesia sehingga nantinya akan ada permintaan, dan terbentuklah pasar. 

Kembali lagi, pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: apakah kita hanya ingin membuat karya yang ditonton banyak orang? Ataukah kita ingin menciptakan sesuatu yang tidak hanya ditonton, tetapi juga membuat audiens berpikir, merasa, dan berkembang? 

Kesimpulan

Bagi kreator animasi, menemukan keseimbangan antara kreativitas dan keberlanjutan adalah proses yang personal.

  • Jika kita ingin menjadi bagian dari arus besar, fleksibilitas dan keterampilan teknis menjadi modal utama.
  • Namun, jika kita ingin menciptakan arus baru, keberanian, konsistensi, dan waktu adalah harga yang harus kita bayar.

Seperti contoh anime yang membutuhkan waktu panjang untuk dikenal dunia, kita di Indonesia juga membutuhkan kesabaran untuk membangun identitas yang kuat di industri animasi. Dengan cerita rakyat yang beragam, budaya visual dan musik yang kaya, serta realitas kehidupan yang unik, kita memiliki aset yang tidak kalah besar. Namun, keberhasilan dalam menyampaikannya tergantung pada bagaimana kita, sebagai kreator, memilih metode dan pendekatan yang paling sesuai dan relevan dengan budaya kita. 

Sebagai kreator, suara kita tetaplah penting. Di tengah arus dominasi global, kemanapun arah tujuan kita berkarya, ini adalah waktu yang tepat untuk memulai. Jadi, apa langkah kecilmu hari ini? 

[Editor:CP]

Penulis

Independent Film Maker

Tulisan Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like